ads

HUT Kabupaten Morowali ke-25

HUT Kabupaten Morowali ke-25

DPRD Kota Palopo

Headline

Metro

Hukum

Daerah

Politik

Penulis, Iwid Perdana. 

ISTILAH korupsi tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, dibaca di media cetak, ditonton di televisi atau didengar di radio, istilah korupsi seakan tak lepas dari kehidupan kita, ini tentu bukan hal yang patut dibanggakan. Perilaku korup seakan telah menjadi budaya di negeri ini, seolah mental korupsi itu sudah tertanam dalam benak para pejabat, ASN, dan pemangku kebijakan.


KORUPSI

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Kata corruptio masuk dalam bahasa Inggris menjadi kata corruption dan dalam bahasa Belanda menjadi corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda inilah yang kemudian terserap ke dalam perbendaharaan Indonesia menjadi korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.


Definisi lainnya dari korupsi disampaikan World Bank pada tahun 2000, yaitu “korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi". Definisi World Bank inilah yang kemudian menjadi standar internasional dalam merumuskan korupsi.


MENTAL KORUPSI ASN/PEJABAT

Dalam sejarah, praktik memperkaya diri pernah menjadi bagian dari masyarakat tradisional Indonesia. Tindakan tersebut kerap dilakukan oleh pejabat tinggi dan bangsawan pribumi abad ke-17 sampai abad ke-19. Mereka menggelapkan dana pembangunan wilayah, hasil penggarapan tanah serta pajak yang disetorkan kepada pemerintah Belanda. Bahkan praktek tersebut dilakukan pula oleh pemilik lahan kepada para pekerjanya.


Menurut Erlina Wiyanarti dalam Korupsi Pada Masa VOC dalam Multiperspektif, mental korup erat kaitannya dengan mental loyal terhadap keluarga, desa, atau kelompok berdasarkan agama, bahasa, etnik, dan kasta, baik di level lokal maupun nasional. 


Dalam era modernitas saat ini mental korupsi terparah bukanlah saat pejabat melakukan korupsi karena ingin jadi lebih kaya, namun mereka korupsi karena merasa rugi ketika sudah dapat jabatan namun tidak memanfaatkan celah-celah korupsi itu. 


Kesempatan, ada. Proyek di depan mata, praktek-praktek gratifikasi juga tidak bakal ada yang tahu. Lihat orang-orang lain di posisi yang sama, juga melakukan. Dan semua yang melakukan juga aman tenteram tidak tersentuh hukum. Ya sudah, akhirnya ikut saja.


Contoh kasus mental korupsi yang sering terjadi di berbagai daerah. Seorang ASN menjabat sebagai Kepala Dinas level kabupaten. Lalu ada proyek di dinasnya senilai Rp100 M. Dia pribadi sebenarnya sudah kaya raya. Tak korupsi pun dia sudah kaya raya.


Tapi, dia melihat kontraktor diminta komisi 10% pasti tidak keberatan sama sekali. Kepala Dinas yang lama biasanya malah lebih dari itu mintanya.


Dia "MERASA RUGI" jika tidak meminta uang komisi itu. Dia 'MERASA RUGI" jika tidak ikut-ikutan korupsi. Akhirnya terjadilah deal-deal uang haram itu.


Inilah kondisi mental korupsi terparah. Ketika pejabat pemerintahan "MERASA RUGI" jika tidak melakukan korupsi saat menjabat. Bahkan bukan lagi karena "ingin kaya".


Revolusi mental yang digaungkan segelintir pihak sebenarnya bisa jadi gunting pemutus aliran mental korupsi para ASN ini. Namun entah mengapa gaungnya seolah hanya terdengar lirih, seperti angin yang bertiup. Ia hanya sejenak menggertak, seperti gonggongan anjing yang tetap membiarkan para pelaku kejahatan korupsi itu berlalu. (****) 


- Penulis Adalah Pengamat Politik di Palopo

About koranakselerasi

OnlineAkselerasi.com juga beredar dalam versi cetak (Koran Akselerasi) yang beredar di wilayah Luwu Raya dan Toraja. Semoga, kehadiran media ini, dapat menambah khasana bacaan masyarakat yang lebih edukatif dan mendidik.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top