Penulis, Iwid Perdana. |
PEMILU Legislatif periode 2024 sudah di depan mata. Tahap demi tahap pelaksanaan pesta demokrasi telah dan sedang berjalan. Semua proses tersebut tertata rapi sesuai agenda yang telah dicanangkan KPU RI.
Ajang untuk memilih para legislator yang nantinya akan menjadi representasi rakyat seperti kita ini akan bermuara tepat diperingatan hari kasih sayang sedunia atau lebih dikenal dengan hari Valentine yaitu pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang. Teranyar adalah proses akhir validasi DCT (daftar caleg tetap) yang akan segera diumumkan oleh KPU (komisi pemilahan umum).
Proses seleksi dan kaderisasi tentu telah dilakukan oleh setiap partai politik peserta Pemilu untuk memilih dan memilah para caleg andalan mereka. Setiap partai dengan kalkulasi masing-masing tentu memiliki jurus jitu bak ajian pancasona dalam penyusunan daftar nomor urut Caleg di dapil tertentu.
Mereka sadar betul bahwa keberlangsungan hidup-mati partai mereka ditentukan oleh seberapa banyak kursi yang diraih. Di sisi lain para Caleg yang siap bertarung untuk meraup suara dan memperebutkan kursi legislatif yang terbatas tersebut tentu berasal dari berbagai background pekerjaan dan pendidikan.
Nah, ada yang menarik dari telisik background para Caleg ini. Jika kita melihat dari segi background pendidikan ternyata masih banyak Caleg yang hanya berpendidikan paling tinggi adalah tamatan SMA. Terutama untuk para Caleg yang berada di daerah untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Pertanyaannya, masih relevankah kualifikasi minimal tamatan SMA untuk para calon anggota dewan perwakilan rakyat itu? Yang jika dilihat job-desknya tentu menuntut kemampuan berpikir dan penalaran akademis yang tinggi. Bukankah Legislatif berfungsi menjadi representasi orang-orang di wilayahnya, yang diharapkan mampu mengidentifikasi masalah dan solusi melalui produksi peraturan dan kebijakan untuk kemaslahatan orang banyak.
Secara pribadi penulis melihat masih ada beberapa celah yg membuat persyaratan "minimal SMA" ini masih akan terus "direlevankan" yaitu :
1. Syarat pendidikan minimal SMA ini akan terus di-set sedemikian rupa, agar kelompok yang termarginalkan punya representasi di legislatif & tidak terkesan klasis.
2. Anggota DPR itu dianggap representasi buat demokrasi, maka akan terkesan make-sense jika dibuat tamatan SMA sebab pendidikan wajib di negeri ini memang hanya sampai tingkat SMA.
3. Poin yang konsiderabel & faktor nonteknis seperti kharisma, karomah, dan yang terpenting korporasi. Hal-hal seperti ini pada dasarnya sangat tidak ekuivalen dengan tingkat pendidikan seseorang.
4. Adanya anggapa bahwa politisi hanya memerlukan legitimasi dari masyarakat dan tidak memerlukan legitimasi dari lembaga pendidikan.
Faktor-faktor di atas tentu bisa diperdebatkan, tergantung dari sisi mana kita membacanya. Dibutuhkan lebih banyak ruang-ruang diskusi akademik untuk merunut lalu kemudian mengerucutkan persoalan ini. Meski bagi sebagian pihak hal ini belum urgent untuk diisukan, namun menurut penulis sudah saatnya kita membuka ruang kelas diskusi dan membahasnya secara bersama-sama. Sebab untuk menghasilkan produk kebijakan yang baik tentu dibutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir yang visioner, cerdas, dan memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni. (****)
- Penulis Adalah Pemerhati Politik di Kota Palopo
Tidak ada komentar: