ads


DPRD Kabupaten Kutai Timur

Pemkab Kutai Timur

DPRD Kota Palopo

Headline

Metro

Hukum

Daerah

Politik

Penulis, Iwid Perdana. 

MONEY politic atau politik uang adalah salah-satu benalu yang kehadirannya selalu menjadi perhatian dalam kontestasi Pemilihan Umum (PEMILU). Bahkan dalam rilis BAWASLU RI, politik uang ini adalah satu dari lima isu besar yang muncul dalam indeks kerawanan Pemilu di Indonesia. Meski pada dasarnya pola yang digunakan bisa ditebak dan dianalisis, namun isu ini selalu sulit untuk dibuktikan apalagi untuk dihentikan. Yang menjadikan fenomena ini terasa sangat kompleks adalah akibat adanya perilaku pembeli suara (vote buying) dan penjual suara (vote selling) di masyarakat.


Vote Buying & Vote Selling

Dalam praktik politik uang, vote buying merupakan perilaku membeli suara pemilih dengan imbalan uang yang dilakukan kandidat atau partai politik dalam persaingannya sebagai peserta Pemilu. Pelaku vote buying disebut juga vote buyer.


Sedangkan, pemilih atau pemilik suara yang terlibat dalam politik uang mempunyai perilaku vote selling. Pelakunya disebut juga sebagai vote seller. Pemilik suara dengan perilaku vote selling menjual suaranya untuk mendapat uang atau imbalan lainnya dengan cara memilih atau mendukung kandidat tertentu di pemilu.


Faktor penyebab perilaku vote selling

Berdasarkan riset Dr Rizka Halida salah-seorang staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang diterbitkan oleh The Conversation dan dikutip oleh Ainun Syahida, terdapat dua faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku vote selling masyarakat sebagai pemilik suara dalam Pemilu. Faktor-faktor tersebut antara lain inhibitory self control dan present bias.


Inhibitory self control merupakan kemampuan untuk menahan hasrat dari melakukan hal-hal impulsif yang beresiko, berbahaya, maupun melanggar aturan. Dalam hal ini, jumlah nominal dan besarnya hadiah yang diberikan oleh peserta pemilu dapat memengaruhi munculnya perilaku vote selling masyarakat.


Pemilih yang memiliki inhibitory self control rendah biasanya memutuskan untuk menjadi vote seller. Sementara itu, pemilih dengan inhibitory self control yang tinggi cenderung menghindari perilaku vote selling. Sebab mereka memiliki kesadaran bahwa politik uang merupakan tindakan yang tidak etis dan melanggar ketentuan Pemilu yang berintegritas. 


Sedangkan present bias merupakan kecenderungan alami manusia untuk memilih hadiah yang bisa didapat saat ini walaupun nilainya kecil daripada memilih hadiah yang lebih besar di masa depan.


Perilaku vote selling membuat pemilih cenderung menerima uang dan menjual suaranya. Vote seller berpikir pendek tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang dari keputusan politik yang diambilnya saat ini.


Mengcounter Politik Uang

Dalam melawan perilaku politik uang, semua pihak harus terlibat aktif didalamnya. Bawaslu sebagai wasit Pemilu perlu melakukan sosialisasi tentang bahaya politik uang kepada pemilih, menumbuhkan kesadaran poilitik kepada pemilih, serta melakukan penindakan terhadap peserta Pemilu yang terbukti melakukan politik uang.


Partisipasi seluruh elemen masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam menolak dan melawan politik uang yang ditunjukan dalam tindakan nyata juga sangat diperlukan. Upaya itu dapat dilakukan dengan lebih mencermati visi, misi, dan rencana program unggulan peserta Pemilu sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya politik uang dan juga sekaligus untuk mewujudkan Pemilu yang berintegritas. (****) 


- Penulis Adalah Pengamat Politik di Kota Palopo

About koranakselerasi

OnlineAkselerasi.com juga beredar dalam versi cetak (Koran Akselerasi) yang beredar di wilayah Luwu Raya dan Toraja. Semoga, kehadiran media ini, dapat menambah khasana bacaan masyarakat yang lebih edukatif dan mendidik.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top