![]() |
Nurdin SH. |
BEBERAPA waktu yang lalu, penulis mengikuti pertemuan dalam rangka rapat koordinasi terkait penanganan tindak pidana Pemilu 2019 di Hotel Four Points by Sheraton Makassar, yang narasumbernya berasal dari komisioner KPU dan komisioner Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan.
Ada hal menarik dalam rapat koordinasi tersebut, dimana seorang peserta rapat bertanya kepada komisioner Bawaslu "Apakah tidak boleh kita memperluas makna dari bunyi pasal..., (merujuk salah satu pasal dalam UU RI No. 7 tahun 2017) dengan memberi penafsiran ekstensif ?".
Pertanyaan itu ada kaitannya dengan pepatah klasik di atas "Lex dura, sed Tamen Scripta". Kepolisian dan Kejaksaan RI menjalankan apa yang telah tertulis dalam sebuah perundang-undangan, kedua institusi negara tersebut tidak dimungkinkan untuk melakukan penemuan hukum.
Penulis tidak akan mengomentari pasal mana yang dimaksud. Oleh karena, penulis lebih fokus memaknai pertanyaan itu ditinjau dari perspektif hukum.
Penulis yakin, bahwa terlontarnya pertanyaan itu besar kemungkinan si penanya belum sempat membaca literatur hukum yang ada, sebab sudah sangat jelas, bahwa dalam hukum ada asas yang mengatakan; "Pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan Undang-undangnya tidak jelas atau tidak lengkap".
Asas ini dapat dilihat pada pasal 10 ayat (1) UU RI No: 48 tahun 2009, tentang kekuasaan kehakiman. Nah, barangkat dari asas ini ketika hakim pengadilan dihadapkan pada suatu perkara yang peraturannya tidak jelas atau tidak lengkap, maka hakim dapat melakukan penemuan hukum.
Asas ini pula sejalan dengan kalimat Paul Scholten "Ia sudah ada dalam Undang-undang, tetapi masih harus ditemukan/dimunculkan" Hukum (baca ; Undang-undang) bukan hanya teks, di baliknya menyimpan kekuatan yang tidak serta-merta terbaca, tetapi kita perlu secara progresif menggali dan memunculkannya. Demikian kalimat Prof Tjip.
Penemuan hukum oleh hakim pengadilan, hanya ada 2 (dua) yang paling mendasar yaitu dengan cara Interpretasi dan Konstruksi hukum. Selain itu, hakim dapat menggali nilai-nilai hukum yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk kemudian memutuskan suatu perkara secara adil, bermanfaat dan berkepastian hukum.
Artinya bahwa interpretasi ekstensif (memperluas makna bunyi pasal dalam sebuah perundang-undangang) yang dimaksud sang penanya tadi, tidak pada tempatnya, salah kaprah atau salah alamat.
Bahwa, yang diberikan kewenangan untuk melakukan penafsiran hukum yang salah satunya adalah interpretasi ekstensif hanya hakim pengadilan, bukan pada penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Demikianlah cara bekerjanya hukum dan penegakan hukum di negara-negara hukum modern termasuk di Indonesia. (****)
*)Penulis Adalah Penyidik Senior Sat Reskrim Polres Palopo
Tidak ada komentar: