![]() |
Nur Amalia. |
Sangat lazim bila, kanca pemilihan disangkut-pautkan dengan popularitas kendati tak disertai elektabilitas. Paham masyarakat sudah sangat tinggi, sekarang ini. Sehingga mampu memilah pada siapa mereka harus menautkan pilihan.
Tak ketinggalan para relawan dan tim pun ikut menyalurkan ekstensi dan menyuarakan suara-suara politik. Sah-sah saja, menurut saya. Selama itu tak mencederai moralitas ummat dan tonggak hukum. Tak melanggar etika yang sudah diterapkan sebelumnya. Sudah jadi lagu lama, mendekati pemilu isu-isu bertebaran kemana-mana. Menyusup kedalam gendang telinga.
Bagi yang tak peka, mengganggap itu hanya seruan fiktif. Namun apakah dengan adanya Pemilu lantas menjamin terpilihnya seseorang yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya dan khususnya negara. Pemilihan memiliki landasan hukum dan kebijakan pemerintah yang diatur dalam perundang-undangan di negara kita. Terpilihnya seorang pemimpin harusnya menjadi kunci untuk membuka gerbang harapan sebuah bangsa atau negara dengan mengoptimalkan semua kinerja baik itu sistem perangkat dikursi pemerintahan maupun eksitensi kepada masyarakat.
Dengan begitu, kredibilitas seorang pemimpin terbaca lewat gerakan-gerakan yang nyata, meskipun pada dasarnya sudah memiliki elektabilitas. Sewajarnya bila pemerintah harus bertindak sesuai instruksi masyarakat. Kendati masyarakat lebih senang menebar jaring di daerah kekuasaan pemimpinnya, ketimbang kenyang karena argumentasi. Pemerintah harusnya lebih peka terhadap sinyal, yang disinyalir membawa dampak perubahan. Menjaga kadar mutualisme serta menormalisasi jaringan kultur yang terdapat dalam fase pemerintahan.
Sekarang, tiba masanya pemerintah dan seluruh elemen masyarakat tanpa memandang ras suku, serta agama bergandengan tangan. Merapatkan barisan. Bersatu melawan kolonialisme yang menglobal.
Bersama-sama bersinergi menghadapi tantangan Zaman yang semakin canggih ini. Idealisnya, seorang pemimpin bukan hanya cerdas, kreatif, namun juga harus memiliki integritas yang kuat.
Mampu menduduki jabatannya dengan sikap loyalitas dan semangat juang yang tinggi. Mengedepankan sistem pengembangan pembangunan, yang nantinya berdampak positif bagi masyarakat.
Elektabiltas seorang pemimpin harus mampu membuat suatu pencapaian. Yang berakhir pada sebuah tujuan bersama, yakni kesejahteraan.
Negara akan maju dan berkembang, jika ada kerja sama dari semua pihak. Munculnya kontroversi hanya akan mengikat suatu kaum, dan mempengaruhi grafik ekonomi yang dimana juga membawa efek negatif bagi sistem pemerintahan.
Spesifiknya, seorang pemimpin atau calon pemimpin dituntut untuk memiliki sifat kepemimpinan dalam artian pribadinya sudah termasuk dalam karakteristik yang baik. Karena kepribadian daripada seorang pemimpin, sangat berpengaruh di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Pejabat negara.
Dalam kacamata pemerintahan, pemimpin haruslah benar-benar menjaga amanat rakyat. Sekurang-kurangnya tidak berbuat bobrok di mata masyarakat. Sebab seseorang yang terpilih, ialah mereka yang dianggap layak dan unggul dimata masyarakat. Untuk itu, sudah sepatutnya apabila seorang pejabat negara berjuang keras untuk memenuhi kepentingan rakyatnya.
Memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengesampingkan kebutuhan individualisme. Sifat elektabilitas selalu mendasari timbulnya kepercayaan masyarakat dan serta merta meyakini akan sebuah pemerintahan yang fleksibel dan fundamental.
Terlepas dari dorongan masyarakat, seorang pemimpin mampu menjiwai perannya tanpa harus mencap dirinya sebagai aktor yang bermain dimedan laga. Bukan tanpa alasan, kerap muncul dipermukaan permasalahan-permasalahn yang menyeret nama-nama pejabat. Dan itu rill. Sedangkan selama ini, masyarakat meletakkan harapan penuh dipundak mereka. Berharap mereka bisa dan mampu mewujudkan harapan dan keinginan mereka, setidaknya peraturan yang dibuat tak lantas menjadi beban bagi khalayak ramai.
Karena otak sang pemimpin, selamanya akan bersih. Terisolasi dari godaan meskipun dikelilingi jutaan hingga trilyunan uang yang memang bukan haknya, ia akan menggunakan uang dari hasil jerih payahnya sendiri.
Lalu, bagaimana jika ditengah jalan seorang pemimpin tergiur bahkan terperangkap kedalam tipu muslihat. Sekali lagi, tidak muda menjadi pemimpin.
Banyak ruang fiktif yang harus ditembus. Banyak mata gelap yang harus dijernihkan. Serta banyak perangkap yang siap menenggelamkannya.
Untuk itu, selain hati yang bersih, krediblitas dibutuhkan juga kepiawaian didalamnya. Memerintah itu tak semudah memainkan layang-layang. Hanya menunggu angin untuk terbang. Namun semuanya harus terangkum dengan jelas. Seseorang harus bisa memiliki etika dan moralitas. (****)
*) Penulis Adalah Seorang Kolumnis
Tidak ada komentar: